SeLamaT Bergabung

Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat - Mandiri Perdesaan Kecamatan Barong Tongkok Kutai Barat Kalimantan Timur Indonesia

Selasa, 21 Desember 2010

Pemberdayaan Masyarakat ; Ajang sebuah proyek ?

Gaung pemberdayaan masyarakat (empowerment) pada satu dasawarsa terakhir, cukup marak dan menggema disuarakan, baik diwacanakan/ dibicarakan dalam forum-forum diskusi yang dilakukan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, ormas, orsospol, baik ditingkat internasional, nasional, regional maupun lokal. Objek pemberdayannya pun beragam model yang dikembangkan apakah pemberdayaan sosial, ekonomi, pendidikan, budaya, spiritual, institusi lokal dan sebagainya. Saluran yang digunakanpun bermacam-macam baik melalui media visual, audio maupun bertatap muka langsung dengan masyarakat yang akan diberdayakan. Tetapi intinya tetap satu yakni adanya idealisme untuk melepaskan rakyat dari keterkungkungan kemiskinan dan ketidakberdayaan dalam pengambilan keputusan.
Namun yang menjadi pertanyaan, sudah sejauh mana pemberdayaan itu dapat menjawab ketidakberdayaan masyarakat ? selanjutnya, sebenarnya siapa yang tidak berdaya dan harus diberdayakan, apakah masyarakat atau orang dan lembaga yang akan memberdayakan masyarakat tersebut, ataukah kedua-duanya.
Sejauh ini, kita melihat implementasi pemberdayaan masih berputar di arena penyenangan hati rakyat, sebagai jawaban solusi dari keperihan pola sentralisasi yang cukup lama, pemberdayaan masih berputar-putar dalam tataran teori dan perdebatan akademisi, tetapi secara substansi belumlah menyentuh akar hakiki kemalaratan hidup masyarakat..
Pola pemberdayaan, masih menempatkan masyarakat dalam konteks objek untuk mendapatkan proyek dari peluang keterbelengguan masyarakat miskin yang berserakan disepanjang ranah khatulistiwa, kita melihat output yang lahir dari konsep pemberdayaan masyarakat ini lebih banyak berupa capacity buildingyang berupa penjaringan aspirasi, seminar, pendidikan dan pelatihan. Kegiatancapacity building inipun masih perlu dipertanyakan, akuntabilitas dan transparansi sumber kegiatannya apakah dalam bentuk finansial maupun konsep pembelajarannya juga tidak terbuka kepada masyarakat. Biasanya apabila kegiatannya sudah selesai, maka selesai pula tugas sang pemberdaya, tidak ada evaluasi dan tindak lanjut, selanjutnya terserah masyarakat.
Sedangkan pemberdayaan dalam bentuk aksi langsung yang dapat mendorong percepatan kemajuan, kesejahteraan, kemaslahatan dan pencerahan kualitas hidup masyarakat masih jauh panggang dari api. Jikapun ada lebih banyak untuk menyelematakan masyarakat dari krisis sesaat, bukan permanen dan berkelanjutan. Kita agaknya sudah capek dengan itu semua, kegiatan pemberdayaan masih menempatkan aktor pemberdaya pada posisi diri sebagai sang pahlawan dan juru selamat, yang seolah-olah lebih mengerti danmengetahui tentang seluk beluk masyarakat, dan yang merasa sebagai pihak yang memiliki kapasitas dan kualitas ilmu pengetahuan yang lebih. Tetapi ironisnya jarang kita mendengar klaim dari masyarakat, bahwa kegagalan dari implementasi konsep pemberdayaan juga merupakan kepandiran dari orang/lembaga yang memberi jasa pemberdayaan tersebut. Tetapi justru sebaliknya jika proyek pemberdayaan itu gagal juntrungan yang disalahkan adalah masyarakat itu sendiri karena dianggap masyarakatnya apatis, partisipasi masyarakat yang rendah dalam pembangunan, penolakan masyarakat terhadap beberapa proyek pembangunan, ketidakberdayaan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan serta pemecahan masalahnya, tingkat adopsi masyarakat yang rendah terhadap inovasi, dan masyarakat cenderung menggantungkan hidup terhadap bantuan pemerintah, serta kritik-kritik lainnya yang umumnya meragukan bahwa masyarakat memiliki potensi untuk dilibatkan sebagai pelaksana pembangunan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar